Saya ingin membuka refleksi kali ini dengan dua asumsi: pertama, pendidikan dianggap sebagai aktifitas yang suci, sedangkan politik kerap dicitrakan sebagai aktifitas yang penuh dosa. Kedua, pendidikan dan politik dianggap tidak memiliki korelasi signifikan. Ketahuilah bahwa dua asumsi tersebut keliru dan kekeliruan pandangan itu membuat beberapa persoalan publik kita menjadi semakin sulit diselesaikan.
Baik pendidikan maupun politik, pada hakikatnya adalah aktifitas para pengabdi. Politik dalam khazanah Islam dikenal dengan istilah As-Siyasah yang berarti mengatur, menjaga, atau kebijaksanaan. Secara semantik ini dekat dengan term At-Tarbiyah, At-Ta’lim, dan At-Ta’dib. Yang satu mendedikasikan diri pada pengembangan individu, yang satunya lagi fokus pada pengembangan kumpulan individu. Pendidikan membentuk satu-per-satu manusia, politik membentuk secara kolektif. Kalau dalam bahasa sosiologi, pendidikan membentuk ‘agen’ dan politik membentuk ‘struktur’, tidak bisa disingkirkan salah satunya. Keduanya adalah ranah para altruis untuk melakukan aktualisasi diri (mohon dibedakan aktualisasi altruis dengan ‘pemaksaan atas nama keikhlasan’).
Sayangnya keduanya juga memiliki persamaan negatif dalam praktiknya: kerap menghalalkan segala cara serta terjebak dalam ‘produk’ yang keliru. Mencontek dan korupsi adalah praktik yang sama, keduanya menghalalkan cara haram untuk meningkatkan pendapatan: pendapatan nilai angka dan pendapatan finansial. Bullying dan pembunuhan karakter adalah praktik yang sama, keduanya adalah kekerasan psikis yang berangkat dari hasrat menjatuhkan orang lain. Kadang ‘money politic’ juga sama-sama ada, dalam politik saat pemilihan umum dan dalam pendidikan saat pemilihan sekolah favorit. Pendidikan dan politik juga—tidak bisa dipungkiri—masih dipenuhi oleh orang yang kurang kompetensi dalam menjalankannya. Bahkan sampai pada ranah ‘kekuasaan’, praktik oligarki kerap juga terjadi dalam kepemimpinan lembaga pendidikan, sebagaimana dalam kepemimpinan politik kita.Yang ingin saya tekankan adalah bahwa pendidikan dan politik sesungguhnya sangat penting dalam memperbaiki kehidupan kebangsaan kita. Pendidikan menciptakan perbaikan dalam jangka panjang, sedangkan politik perbaikan dalam jangka pendek. Namun sayangnya untuk dapat menciptakan perbaikan, keduanya perlu diperbaiki terlebih dahulu.
Pertama, dari aspek sistem—atau lebih tepatnya implementasi sistem. Pendidikan dan politik kita diatur dalam serangkaian sistem yang menurut hemat saya relatif cukup baik. Tentu ada beberapa catatan penting misalnya soal isu presidential treshold dalam politik atau isu evaluasi dalam pendidikan. Namun secara umum jika keduanya dikembalikan pada sistem ideal yang sebenarnya telah ditentukan maka pendidikan dan politik kita akan membawa kemaslahatan.
Kedua, dari aspek sumber daya manusia. Agaknya kita sulit berharap dalam waktu dekat akan ada perbaikan kualitas SDM kita di bidang politik dan pendidikan secara signifikan. Dalam bidang politik misalnya kita tidak menemukan adanya pendidikan politik yang relatif memadai untuk para pelaku politik. Baik yang dilakukan oleh partai politik maupun kementerian terkait—Kemenko PMK, Kemenko Polhukam, atau kementerian lain belum ada yang secara konkrit menjalankan fungsi pembangunan kewargaan ini. Dalam bidang pendidikan, agaknya lebih banyak penelitian yang bisa kita jadikan acuan bahwa peningkatan kompetensi yang dilakukan belum berjalan efektif.
Ketiga, dari aspek kultur atau dukungan publik. Dalam bidang politik masyarakat harus berpartisipasi secara aktif menjaga agar proses demokratisasi serta penyelengaraan pemerintahan berjalan sesuai koridor. Jangan malah ikut memperparah situasi dengan cara terlibat baik sebagai penerima atau malah sebagai pelaku ‘money politic’. Juga dalam memilih pejabat publik, tinggalkan politik aliran atau egoisme golongan, pilihlah yang memiliki kapasitas dan rekam jejak baik. Dalam bidang pendidikan, partisipasi masyarakat bisa dilakukan dalam bentuk dukungan pada pengembangan lembaga pendidikan. Masyarakat harus sadar untuk tidak memaksa anak menjadi ‘pandai’ dalam bidang yang bukan merupakan kecerdasan mereka. Dukunglah sekolah untuk menjadi lebih baik bukan malah ‘memaksa’ mereka melakukan praktik yang keliru.
Apakah usaha-usaha perbaikan semacam ini mustahil dilakukan? Saya rasa tidak. Kuncinya adalah pada inisiatif. Mulailah pada hal-hal kecil yang bisa memicu perubahan lebih lanjut. Berkumpullah dengan orang-orang yang punya visi perbaikan yang sama. Jangan menunggu peran pemerintah jika memang dirasa lambat, jika negara belum bisa hadir maka perkumpulan swasta harus ambil peran. Sambil terus berbuat, ingatlah bahwa kita sedang mengusahakan kebaikan karena itu jangan sampai kita malah terjebak dalam keburukan yang pada awalnya kita lawan.
Ahmad Faizin Karimi
Founder Sekolah Menulis Inspirasi
Founder Sekolah Menulis Inspirasi