Catatan Perjalanan PPKG Zona 3: Kisah Kursi Difabel dan Pejuang Tiket Subuh

Kursi khusus salat difabel di musala Stasiun Wonokromo (Tari/IGIJatim)

IGIJatim-Jam digital yang terpasang di dinding ruangan kecil ini menunjukkan waktu 04.49. Masih dapat kurasakan dinginnya udara pagi terutama pada kedua kakiku yang tak tertutup kaos kaki. Hmmm, sedikit menyesal tadi tak kukenakan pembungkus kaki warna kuning favoritku saat berangkat dari rumah. Ditambah dinginnya air wudu yang masih tersisa hingga sujud terakhir. Belum selesai kunikmati tempat Salat Subuh ini, netraku terpaku pada kursi merah bertuliskan "Khusus Salat Difabel".

"Hei, lihat apa?" bisik salah satu Pejuang Tiket Subuh, Didin Rosyadi, padaku yang mendekat sembari mengeluarkan gawai. Tanpa menjawab pertanyaannya, kuarahkan kamera gawai pada kursi merah itu. Entah kenapa, aku ingin mengabadikan momen kali pertama aku menemui fasilitas ramah difabel di tempat umum seperti ini. Aku berpikir, apa semua stasiun sudah memberi fasilitas ini? Ah, mungkin sudah, aku saja yang tidak pernah masuk musala stasiun-stasiun yang pernah kukunjungi sehingga merasa ini adalah suatu yang unik bagiku. 

Pikiranku berkelana pada apa yang kulihat beberapa menit yang lalu ketika memasuki ruang tunggu kereta Subuh tadi, Sabtu (29/1/2022). Tak kusangka, Allah mempertemukan kami kembali di tempat ini, tempat pertama kali aku menuliskan kisahnya, berkenalan dengannya, sekaligus berpisah. Wiwin namanya. Kamis, 16 November 2017 kami berkenalan. Perempuan difabel dengan keterbatasan penglihatan itu mencari rezeki dengan menyanyi lagu-lagu kenangan untuk menghibur penumpang kereta di Stasiun Wonokromo Surabaya. 

Posisi kursi khusus difabel di musala Stasiun Wonokromo (Tari/IGIJatim)

"Stasiun Ramah Difabel," jawabku singkat pada Pejuang Tiket Subuh Kedua, Ifan Habibi, yang memberi sinyal tanda tanya pada sikapku yang tak biasa. Suara kipas angin bertuliskan Sekai warna hitam berukuran besar yang bergerak ke kiri dan kanan menambah sedikit berisik musala samping ruang pengawas peron itu. Tiga laki-laki membentuk setengah lingkaran di sana, saling bertukar kabar. Berempat denganku, Joko Santoso menjadi pelengkap Pejuang Tiket Subuh yang akan bertolak ke Kabupaten Jember untuk mengikuti Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru (PPKG) yang diselenggarakan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) Wilayah Jawa Timur. 

Tiga lampu kuning kecil yang menyala tetap mampu menerangi ruangan ini meski agak remang karena satu lampu di ujung kanan depan dalam kondisi rusak, menjadikan obrolan kami semakin gayeng. Fakta Wiwin dan tiga laki-laki Pejuang Tiket Subuh mengingatkanku pada kalimat Hellen Keller, "Dalam setiap keindahan, selalu ada mata yang memandang. Dalam setiap kebenaran, selalu ada telinga yang mendengar. Dalam setiap kasih, selalu ada hati yang menerima."  

Keterbatasan pun akan terlihat indah ketika ditampilkan kejujuran dan keikhlasan sehingga dapat diterima dengan positif oleh setiap orang di sekitarnya. Pejuang Tiket Subuh, bagiku adalah orang-orang yang secara tidak langsung punya semangat yang membuat mereka tergerak, bergerak, dan menggerakkan. Dalam kesibukan aktivitas masing-masing, kemauan menyempatkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk organisasi profesi tercinta adalah satu hal yang patut diapresiasi. 

Tiga Pejuang Tiket Subuh (Tari/IGIJatim)

"Hei, cari sarapan!" kalimat Ifan Habibi mengagetkan kami. Kulihat sekilas jam dinding digital dengan tulisan Corporate Social Responsibility PT Kereta Api Indonesia sudah menunjukkan pukul lima pagi. Bergegas kami menuju pintu masuk stasiun untuk menjemput kedatangan dua Pejuang Tiket Subuh lainnya, Lilik Sri Wahyuningsih dan Nur Fitriah, yang sedang dalam perjalanan menuju stasiun yang sama. Warung makan yang diimpikan pun tak kunjung terlihat. Berjalan sedikit jauh dari stasiun, kami berempat harus menelan ludah karena tak menemukan warung nasi yang sesuai keinginan. Melihat ada penjual camilan berbentuk bulat yang umumnya berisi kacang hijau, Ifan--panggilan akrabnya--segera membeli 10 butir. 

Menit terus berjalan. Kami hanya punya waktu 10 menit untuk bertahan di pintu masuk dan harus segera melakukan check in. Namun, tiket belum kami dapatkan. Kedatangan Lilik Sri Wahyuningsih yang kerap disapa Lilik membuat kami sedikit lega. Setelah aktivitas saling cek bukti swab antigen, baru tersadar bahwa bukti swab antigen Bendahara I IGI Jatim itu tak diketemukan. Blarrr! Dag dig dug mulai menyelimuti hatiku. Rekan kami, Joko Santoso yang akrab dengan panggilan Joe, bergegas mendampingi di bilik swab antigen. 

Dari arah parkir kendaraan, bayang-bayang Bendahara II IGI Jatim, Nur Fitriah, mulai tampak. Raut wajah lega dariku dan tiga laki-laki Pejuang Tiket Subuh mulai tampak pula. Ya, tiket sudah di tangan. Kami berempat bersepakat meninggalkan rekan kami, Joe dan Lilik, di bilik swab. Kami membawa serta barang mereka berdua ke atas kereta api dengan asumsi jika mereka selesai dalam limited time, mereka berdua bisa bebas berlari mengejar kereta. 

Enam Pejuang Tiket Subuh (Joe/IGIJatim)

Suara klakson angin (air horn) berbunyi sudah. Tanda kereta api telah datang. Suara dari pusat informasi pun menguatkan. “Kereta api Probowangi tujuan Banyuwangi telah tiba di jalur dua. Para penumpang diharap segera naik dan memastikan tidak ada barang bawaan yang tertinggal,” begitu isi informasi yang kudengar. Kereta pun bergerak. Kami belum mendapati sosok dua orang rekan kami yang masih antri di bilik swab. Informasi dari WhatsApp Group yang terakhir kami dapat adalah sudah tinggal cetak. Pasrah sudah kami terpisah di sini. Allah sudah menakdirkan kami berempat naik kereta, sedangkan dua rekan kami naik bus. 

"Alhamdulillah, itu topinya Pak Joe di gerbong tiga!" teriakku disambut ucapan hamdalah serentak dari ketiga teman lainnya. Saat kutanya bagaimana rasanya berpacu dengan waktu, Pak Joe--begitu aku menyapanya--hanya menjawab dengan senyuman. Sedangkan Bu Lililk--sapaanku padanya--menjawab, "Biasa aja, kalau memang Allah masih memberi kesempatan, pasti akan terkejar," ungkapnya. 

Lagi-lagi ucapan Hellen Keler terbersit dalam ingatanku, "Di belakang dan didepanku ada Tuhan dan aku tidak takut." Seperti itulah Bu Lilik mengambil hikmah dari kejadian yang kami alami pagi itu. Aku merasa harus banyak belajar darinya dalam mengatasi kepanikan dan manajemen emosi di saat yang tak diinginkan datang. 

Selamat berproses, enam Pejuang Tiket Subuh! (ria eka lestari)



 

 

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post