Hari Peduli Autisme Sedunia, IGI Jatim Dorong Penyelenggara Pendidikan Siap Membuka Diri untuk Semua Anak

 


Sumber: rsjlawang.id

WartaIGIJatim-Tadi pagi (1/04), saya berkunjung ke Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) Negeri Bondowoso. Sekolah ini mendidik siswa berkebutuhan khusus, termasuk autis. Bapak Abdul Majid, S.Pd., MBA mendapat amanah sebagai Kepala Sekolah di sana. Ditemani seorang guru, Pak Anton, saya berdiskusi dengan dua guru yang menangani siswa autis. Perbincangan berjalan gayeng di ruang guru yang tertata rapi dan bersih. 

"Kita harus bisa memahami emosi, minat, dan bakat mereka. Sebab anak autis itu mempunyai gangguan konsentrasi. Jadi harus betul-betul dipahami kondisinya agar tepat dalam memberikan materi atau pelajaran," ungkap Novi yang mengakui bahwa mendidik siswa autis ternyata tidak mudah, penuh tantangan. 

Pemilik nama lengkap Novi Anugrayekti, S.Psi. ini menjelaskan kebanyakan orang menganggap anak autis adalah anak yang sama sekali tidak mempunyai kelebihan. Ternyata tidak demikian. Menurutnya, mereka memang memiliki kekurangan, tetapi di balik itu ada kelebihan yang bisa diasah. Jadi, kita tidak boleh membedakan mereka dengan anak-anak lainnya. 

Novi Anugrayekti, S.Psi. (Febry/IGIJatim)

"Saya berharap IGI bisa mendukung program-program pendidikan inklusi dan memberikan perhatian yang lebih kepada program ini. Sebab para siswa tersebut harus mendapatkan pelayanan yangn lebih dibandingkan siswa lainnya," pesan perempuan penyuka warna merah ini pada saya saat saya mengenalkan Ikatan Guru Indonesia. 

Sejalan dengan itu, Heny Dwi Marlia, S.Psi juga menyetujui bahwa sangat dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi dalam mendidik siswa autis. Selain sabar, guru harus memahami karakter siswa. Apa yang dia sukai dan tidak. Seperti apa bentuk tantrumnya (amukan/kemarahan). Dan yang paling penting lagi adalah menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua siswa. 

"Anak autis adalah anak yang sama dengan anak lainnya. Tiap anak memiliki kelemahan dan kelebihan. Pahami kelemahannya dan tingkatkan kelebihannya. Fasilitasi kelebihan anak sehingga dapat digali potensinya," imbuh perempuan yang akrab disapa Lia itu. 

Ditanya terkait IGI, pemilik hobi memasak ini menyampaikan harapannya semoga IGI dapat membantu meningkatkan kualitas guru ABK. Sebab pembelajaran kepada siswa autis itu bersifat individual, bukan general. Sehingga diperlukan keterampilan mengajar secara khusus. 

Heny Dwi Marlia, S.Psi. (Febry/IGIJatim)

Selama pandemi, Novi dan Lia tidak bisa mengajar secara tatap muka. Hal ini membuat mereka sangat sedih karena tidak bisa mengajar siswa-siswa autis mereka dengan maksimal. Namun, mereka bersyukur karena sejak Februari lalu, pembelajaran tatap muka sudah mulai dilakukan meski dengnan waktu yang terbatas. Kesedihan mereka sedikit terobati. 

Diwawancarai di tempat berbeda, Innik Hikmatin, S.Pd., M.Pd.I berpendapat Hari Peduli Autisme Sedunia tidak boleh hanya sekadar didengar, tetapi diperingati sebagai momen penting seperti hari-hari lainnya bagi anak-anak kami yang istimewa. Seperti pada Hari mendengar tanggal 3 Maret kemarin, kemudian disusul dengan Hari Down Syndrom tanggal 21 Maret dan momen itu diisi dengan kegiatan yang menggerakkan semua elemen untuk bersama-sama merasa memiliki bahwa hari ini adalah hari penting yang perlu dihargai seperti kita menghargai anak-anak pada umumnya. Hal ini dikarenakan mereka juga investasi generasi emas bangsa. Apalagi Hari Autis ini sejak tahun 1989 selalu diperingati berdasarkan Resolusi PBB. 

"Saya selalu berupaya untuk mensosialisasikan dan membudayakan, memenfaatkan momen itu sebagai momen yang mempunyai nilai. Sebelum pandemi, saya mengadakan kegiatan menulis bagi ibu-ibu hebat, melahirkan anak yang cerdas. mereka bercerita tentang pengalamannya bagaimana mengasuh, merawat, mendidik putra-putri tersayangnya yang mengalami keterbatasan. Kemudian lomba membuat media bersama anak. Kegiatan parenting untuk saling menguatkan dalam meningkatkan sumber daya betapa pentingnya upaya promotif dan preventif melalui media komunikasi, informasi, dan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat agar dapat melakukan deteksi dini gangguan spectrum autism," jelas Kepala UPT Resource Centre Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik. 

Innik Hikmatin, S.Pd., M.Pd.I. (dokumen pribadi)

Perempuan yang pernah menempuh pendidikan singkat di ALAF-QUT Australia ini melanjutkan upaya kedua adalah melaksanakan pelatihan keterampilan dan kecakapan hidup bagi guru dan remaja, serta pelatihan pola asuh bagi kader atau guru dan orang tua. Lalu memberdayakan peran keluarga, guru, dan masyarakat untuk mencegah dan mendeteksi dini tanda-tanda gangguan spectrum autism untuk segera ditindaklanjuti. Selanjutnya adalah pendampingan dan edukasi bagi anak dengan gangguan spectrum autism di tengah pandemi. Seperti kemarin, ada program blended learning yang menghasilkan lima buku dari GPK Produktif dan orang tua penyandang disabilitas, bagaimana mereka berdayaguna untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. 

Innik, begitu ia biasa disapa, menegaskan bahwa penyandang disabilitas mempunyai 17 hak, termasuk hak mendapatkan layanan pendidikan. Maka anak autism mempunyai hak yang sama mendapatkan pendidikan yang layak. Ada beberapa firman Allah yang menganjurkan kita untuk melayani pendidikan anak tanpa diskriminasi, yaitu QS Abasa ayat 1-11, QS Ar Ruum ayat 22, QS Al Hujurat ayat 11 dan 13. 

"Kita sebagai guru atau orang dewasa atau orang tua hendaknya memberi pengajaran yang tepat. Anak Autism Spectrum Disorder atau ASD bisa diajak berkomunikasi verbal atau visual. Mereka juga dapat dibantu untuk menghadapi perubahan serta mengembangkan banyak keterampilan sosial yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Pahami gaya belajar individu pada anak ASD. Gunakan bahasa yang kongkrit. Hati-hati dalam menggunakan istilah atau sindiran. Beri waktu tambahan untuk memproses informasi. Bersikaplah murah hati, melayani dengan hati. Jangan mudah tersinggung, peka dengan kondisi sensori," papar alumnus AAWA Brisbane Australia ini ketika ditanya tentang dukungan apa yang diperlukan siswa autis dari orang dewasa di sekitarnya. 

Ia berharap, IGI sebagai ikatan guru secara otomatis punya tanggung jawab yang luar biasa di dalam mengembangkan pendidikan inklusif. Para guru paling tidak juga tahu tentang regulasi terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif. Ketika semua guru memahami tentang penyandang disabilitas, maka guru bisa berperan menggerakkan hati dan mengedukasi sekelilingnya untuk melayani semua anak tanpa diskriminasi. 

Sukari, S.Pd., M.Pd. (dokumen pribadi)

Menanggapi hal tersebut, Sukari, S.Pd., M.Pd., mengapresiasi semangat guru pendidikan inklusif sebagai bagian dari garda terdepan pendidikan anak bangsa. Ketua Wilayah IGI Jawa Timur ini menegaskan bukan saatnya lagi menutup diri pada keterbatasan. Semua anak punya hak yang sama untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak bagi dirinya. Maka, sudah saatnya seluruh penyelenggara pendidikan untuk membuka diri menyediakan pendidikan untuk semua. 

"Peserta Didik Berkebutuhan Khusus atau yang biasa kita sebut PDBK seharusnya bisa bersekolah di lembaga pendidikan manapun yang dekat dengan tempat tinggalnya. Tidak harus bersusah payah mencari sekolah khusus yang jauh dari rumah. Mereka juga punya kesempatan yang sama untuk berinteraksi dengan siswa lainnya yang tidak berkebutuhan khusus. Mereka punya akses sosialisasi yang sama dengan teman seusianya," jelas Sukari. 

Selamat Hari Peduli Autisme Sedunia! (Febry dan Tari) 

5 Comments

Post a Comment
Previous Post Next Post