WaMen Dikdasmen : KKA agar sementara menjadi konsumen yg kritis dan ke depan bisa menjadi produsen




Pembukaan dan Pengenalan Topik

Halo sobat belajar, selamat datang di siaran inspiratif, inovatif, akuntabel, dan responsif: pendidikan bermutu untuk semua. Perkenalkan saya Prita Laura, dan kita akan membahas hal yang seru dan ramai dibicarakan: bagaimana penerapan coding dan kecerdasan artifisial (AI) dalam pendidikan dasar dan menengah di Indonesia. Ini sangat relevan dan krusial mengingat pesatnya perkembangan teknologi di era revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0. Perkembangan ini menuntut adaptasi signifikan dalam sistem pendidikan nasional untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan masa depan yang tidak bisa dilepaskan dari kemajuan teknologi. Pemerintah Indonesia melalui Kemendikdasmen telah menetapkan coding dan kecerdasan artifisial sebagai mata pelajaran pilihan mulai tahun ajaran 2025-2026. Langkah ini merupakan pondasi penting untuk membekali murid dengan keterampilan digital yang relevan dan kemampuan berpikir komputasional yang esensial di era teknologi ini. Saat ini, saya sudah bersama dengan narasumber yang sangat mumpuni untuk menjelaskan hal ini: Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Bapak Fajar Risaul Ulhaq (kita panggil Mas Wamen) dan Master Trainer Kecerdasan Artifisial, Bapak Asep Wahyudi.


Urgensi Penerapan Coding dan AI dalam Pendidikan

Prita Laura: Mas Wamen, generasi sekarang tidak bisa dilepaskan dari teknologi. Mereka sudah menjadi digital native, dan tantangan teknologi sudah menjadi bagian hidup mereka. Bagaimana kita tidak menjadi korban teknologi, tetapi justru mengendalikannya? Apakah ini menjadi alasan Kemendikdasmen membuat kurikulum pilihan untuk coding dan AI? Mas Wamen: Banyak studi menyebutkan bahwa generasi sekarang, terutama generasi Alpha, Z, bahkan Milenial, adalah digital native. Mereka tumbuh dalam konteks dunia digital yang berkembang sangat cepat. Kemendikdasmen mengenalkan kebijakan pendidikan coding dan AI karena relevansinya sangat kuat dengan tantangan hari ini dan tuntutan dunia digital. Perkembangan AI sebenarnya sudah lama, sejak tahun 1950, dan sudah banyak dipakai di perusahaan besar, industri, dan fashion. Penggunaan AI menjadi keharusan. Jika anak didik kita tidak mengenal AI dengan baik, itu seperti pisau. Pisau bisa bermanfaat jika digunakan secara tepat dan di tangan orang yang tepat. Sebaliknya, pisau bisa melukai jika jatuh pada orang dengan niat yang tidak tepat. Kami ingin mengenalkan coding dan AI kepada anak-anak kita seperti mengenalkan pisau. Pisau ini tajam, tapi di balik ketajamannya ada kemanfaatan jika kita mengenal fungsinya, kapan menggunakannya, dan apa yang tidak boleh dilakukan. Intinya, teknologi AI ibarat pisau yang punya sisi positif, tetapi jika tidak dianalisis dengan baik, bisa mendatangkan mudarat, bukan maslahat. Prita Laura: Analogi pisau ini bagus sekali, karena banyak orang tua yang tidak mengerti akhirnya melarang anak-anaknya masuk ke teknologi AI. Padahal, penting untuk melatih cara menggunakannya dengan bijak.


Implementasi dan Pendekatan Pembelajaran

Prita Laura: Bagaimana bentuk pembelajarannya dan mulai dari tingkat mana anak-anak akan belajar? Mas Wamen: Tahap awal, kita akan mengajarkan mata pelajaran ini sebagai mata pelajaran pilihan, bukan wajib, karena tergantung kesiapan infrastruktur dan SDM di sekolah masing-masing. Kita akan mulai mengenalkannya sejak tahun ajaran baru ini, sebagai mata pelajaran pilihan mulai kelas 5 SD, SMP, dan SMA. Pendekatannya bervariasi:

  1. Sebagai mata pelajaran terpisah.

  2. Dalam bentuk ekstrakurikuler.

  3. Tematik integratif. Ini sangat menyesuaikan dengan kondisi sarana prasarana (sarpras) dan SDM di sekolah masing-masing. Yang paling penting adalah anak-anak kita mengerti literasi digital, literasi AI, dan etika dalam menggunakan kecerdasan artifisial.


Digital Adab dan Kewargaan Digital

Mas Wamen: Intinya, kita ingin mengajari mereka bagaimana menjadi warga negara yang beradab. Ada buku karya Mribel tahun 2015 tentang digital citizenship (kewargaan digital). Menurutnya, anak-anak kita harus dibekali nilai-nilai keadaban di dunia digital sebagaimana mereka dibekali di dunia nyata. Tiga nilai dasar yang harus ditanamkan:

  1. Menggunakan teknologi digital secara aman, artinya tidak menimbulkan masalah. Ini analogi pisau tadi.

  2. Menggunakan secara etis. Ini menyangkut kepantasan dan kelayakan.

  3. Menggunakan secara bertanggung jawab. Tiga nilai dasar ini mutlak dimiliki anak-anak kita sejak pendidikan dasar. Jadi, ketika anak-anak mempelajari coding dan AI, tujuannya bukan semata melatih mereka sebagai programmer atau membuat animasi/game, tetapi membekali mereka dengan kemampuan digital citizenship agar menjadi warga negara yang bersadar hukum di dunia online, bertanggung jawab, etis, dan aman ketika berinteraksi di dunia online. Prita Laura: Penjelasan Mas Wamen menunjukkan program ini tidak hanya mendorong kemampuan komputasional murid, tetapi juga melatih daya kritis untuk mengetahui mana yang etis, mana yang tidak bertanggung jawab, dan penggunaan yang benar.


Inklusivitas dan Tantangan Ketimpangan Digital

Prita Laura: Bagaimana keselarasan program ini dengan visi Kemendikdasmen "pendidikan bermutu untuk semua"? Ada kritik bahwa kebijakan ini akan memperlebar ketimpangan digital. Mas Wamen: Semangat kita menghadirkan pendidikan bermutu untuk semua tidak melihat golongan sosial atau ekonomi. Kita juga harus mengejar ketertinggalan. Kami sebagai pemerintah harus mengakomodasi kelompok menengah ke atas yang punya tuntutan tinggi, dan pada saat yang sama, mengangkat kelompok masyarakat di bawah. Fungsi kebijakan itu begitu, bukan menginjak yang di bawah atau mengangkat yang di atas, tapi mengangkat yang di bawah dan mendorong yang di atas untuk peduli pada yang di bawah. Dalam konteks ini, kebijakan AI juga semangatnya ke sana. Maka, sementara ini sifatnya masih pelajaran pilihan, tidak wajib. Ke depan apakah akan diwajibkan, ini sangat tergantung kesiapan infrastruktur dan SDM. Guru-guru yang kita ambil untuk pelajaran coding dan AI adalah guru-guru berlatar belakang ICT (guru komunikasi informatika) yang kita latih. Jumlah guru ahli di bidang coding dan AI mungkin masih sedikit, tetapi kita melakukan upskilling (memberikan kemampuan tambahan) kepada guru-guru informatika. Mas Wamen: Ketika smartboard hadir, bukan hanya barangnya, tetapi juga ada infrastruktur pendukung dan mata pelajaran pilihan coding dan AI. Strategi untuk pendidikan inklusif ini juga melihat perbedaan geografis dan akses, bahkan di Jawa pun masih ada daerah blank spot. Kami menyadari itu dan akan terus bekerja sama dengan lembaga lain seperti PLN dan Komdigi. Sambil menyelesaikan masalah ini, kita juga harus berjalan ke depan. Kebijakan ini muncul karena sudah banyak sekolah yang menerapkan praktik ini sebelum kebijakan diluncurkan. 6 bulan lalu, saya berkunjung ke Sumatera Barat, ada sekolah swasta yang mengenalkan pendidikan coding sejak kelas 3 SD, bahkan sebelum COVID-19 (sekitar 2019). Rata-rata sekolah yang mengenalkan ini adalah sekolah swasta menengah ke atas karena soal infrastruktur. Pemerintah melihat ini relevan karena masyarakat sekarang sangat tergantung dengan teknologi digital. Jika tidak dikenalkan sejak dini, kita akan menjadi bangsa yang illiterate functional. Kita punya dua persoalan: literasi dasar belum selesai, dan sekarang ada literasi digital. Dua hal ini datang bersamaan. Prita Laura: Mas Wamen, kita masih punya masalah literasi dasar dan literasi digital. Bagaimana bisa dikejar bersamaan, dan visi mencetak anak-anak seperti apa? Kita akan masuk ke segmen kedua dengan Bapak Asep Wahyudi.


Urgensi dan Pendekatan Pembelajaran AI bagi Siswa

Prita Laura: Kita kembali lagi di siaran inspiratif Kemendikdasmen, membahas mata pelajaran pilihan coding dan AI. Sekarang saya bersama Pak Asep Wahyudin, Master Trainer Kecerdasan Artifisial. Pak, apa urgensinya anak-anak perlu belajar coding dan AI, padahal belum tentu semuanya mau jadi IT expert? Pak Asep Wahyudin: Kehidupan kita tidak mungkin terlepas dari teknologi, karena teknologi diciptakan agar kita lebih mudah beraktivitas dan tidak banyak hal kompleks yang harus kita tangani sendiri. Hari ini, teknologi digital sudah sangat masif, terutama AI. Hemat saya, sangat bijak jika kementerian membuat pembelajaran seperti coding dan informatika. Lebih baik menyampaikan terkait teknologi secara profesional lewat guru dibanding mereka belajar sendiri. Mereka itu native digital yang punya karakter eksploratif, tapi hati-hati, harus dibimbing. Jika kita percaya pembelajaran yang baik dimulai dengan adab, maka ada digital adab yang harus disampaikan. Beritahu mereka bahwa AI dan coding akan menjadi sebuah aplikasi yang tidak harus dijadikan tuntutan satu-satunya. Kita sering khawatir AI akan menggantikan pekerjaan rutin. Saya justru lebih khawatir bagaimana caranya peserta didik kita tidak selalu tergantung pada teknologi ini, tapi mereka tahu cara menggunakan dan proses engineering-nya. Yang penting, kita ingin menghindarkan mereka dari kebiasaan menyalahkan teman dengan mengutip Chat GPT atau Gemini, karena belum tentu benar. Prita Laura: Yang terjadi kan sekarang seperti itu. Anak-anak yang punya masalah mental konsultasi ke Chat GPT sebagai psikolognya, dan hasilnya macam-macam. Jadi, bagaimana menempatkan AI dalam konteks beretika, bertanggung jawab, dan tidak menjadi pisau yang membahayakan? Pak Asep Wahyudin: Salah satu materi pembelajaran ini adalah bagaimana mereka tahu ekosistem periksa data. Ketika menerima data/informasi, mereka tidak langsung mengolahnya menjadi pengetahuan, tapi masuk dulu ke lingkungan periksa data. Hal itu hanya bisa dilakukan kalau orang ini tidak hanya menggunakan, tapi paham proses engineering-nya bagaimana aplikasi ini dibikin, sekalipun nanti mereka tidak harus jadi programmer. Terbayang jika mereka yang di sekolah dasar/menengah mungkin tidak semuanya mendapatkan kesempatan di perguruan tinggi, tapi punya kemampuan menggunakan perangkat digital secara bijaksana. Itu tujuan dari pembelajaran kita: citizen wellbeing, bijaksana dan hidup seimbang di dunia nyata dan dunia maya dengan menggunakan perangkat digital. Suatu saat, mereka akan bertemu dengan profesional software developer dan software engineer. Banyak solusi sistem digital di Indonesia akan muncul karena pertemuan antara pengguna yang paham proses engineering dan pengguna yang butuh solusi digital. Seharusnya, ke depan kita akan banyak talenta digital yang menghasilkan sistem berbasis digital milik Indonesia. Anak-anak ini akan dibuat mengerti bahaya dan prosesnya, sehingga tidak mengandalkan informasi sepenuhnya dari AI dan tidak menggunakannya secara sembarangan. Yang paling menarik, banyak ahli IT yang belajar mandiri dan mengembangkan skill-nya sendiri tanpa pendidikan formal yang panjang. Jadi, program ini mempersiapkan generasi masa depan kita.


Peran Guru dan Tantangan Literasi

Prita Laura: Pak Asep mengatakan pentingnya peran guru sebagai pendamping dan pembimbing. Apakah guru-guru sudah siap? Pak Asep Wahyudin: Mas Wamen sempat menyinggung bahwa materi pembelajaran tentang teknologi digital, informatika, computer science, serta coding dan AI ini tergolong baru. Oleh karena itu, upskilling atau pelatihan profesional guru sudah banyak dilakukan. Yang penting adalah meningkatkan awareness masyarakat sehingga semuanya membantu pembelajaran coding dan AI. Contohnya, banyak teman-teman yang kebingungan mengapa coding dan AI diajarkan di SD. Banyak yang tidak paham bahwa pembelajaran coding dan AI di SD sampai fase D awal lebih kepada pengajaran simulasi berpikir logis dan sistematis. Kita mengawinkan kemampuan berpikir komputasional dengan literasi digital. Banyak permainan edukatif sudah diajarkan sejak PAUD. Misalnya, menara Hanoi atau membuat menara pakai donat plastik. Itu sebenarnya pembelajaran coding. Bahkan, namanya lateral reading, membaca secara lateral. Jika anak berhasil memasukkan donat dengan perspektif yang benar, itu sebenarnya pembelajaran coding. Prita Laura: Jadi, apakah pembelajaran coding dan AI, logika berpikirnya, bisa dibangun tanpa akses internet? Pak Asep Wahyudin: Bisa. Hanya saja, pembelajaran unplugged tadi itu khusus untuk mengajarkan cara berpikir. Cara berpikir sistematis akan percuma kalau tidak ada cara berpikir logis. Makanya, pengajarannya bisa tanpa internet lewat logika, bagaimana cara mendorong peserta didik belajar dari sini ke sana, mengapa bulan muncul di malam hari. Itu nanti mengeluarkan statement yang menjadi dasar pembelajaran coding.


Visi Generasi Emas 2045 dan Literasi Paralel

Prita Laura: Anak-anak yang memiliki keahlian dan kemampuan dasar literasi digital yang baik akan menjadi generasi masa depan Indonesia seperti apa? Mas Wamen: Jika bicara target besar 2045, kita ingin ada generasi emas. Indikasinya adalah generasi yang punya kompetensi tinggi, daya saing unggul, peka terhadap perkembangan digital, dan punya karakter kuat. Basis profil generasi kita punya karakteristik kuat karena itu menjadi prioritas kami: penguatan pendidikan karakter. Kedua, punya daya saing tinggi sehingga cepat beradaptasi. Salah satu hal yang ingin kita tanamkan dengan pembelajaran mendalam coding dan AI adalah mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat (fast learner). Ketiga, kita punya stok sumber daya yang kompetitif dalam konteks STEM (Sains, Teknologi, Matematika). Ini salah satu cita-cita Bapak Presiden Prabowo agar generasi kita menuju generasi emas betul-betul tumbuh dalam konteks STEM, karena dengan itulah kita bisa menjadi bangsa yang kompetitif dengan kemampuan teknologi tinggi. Namun, kemampuan teknologi tinggi tidak punya akar kuat jika karakter jati diri bangsanya tidak dibentuk. Bagi kami di pendidikan dasar dan menengah, yang paling dasar adalah pembentukan karakter. Karakter ini diwakili oleh delapan profil lulusan: beriman, bertakwa, berpikir kritis, kemandirian, kolaborasi, dan komunikasi. Inilah yang mau kita hasilkan di tahun 2045. Proses besarnya kita mulai dari sini. Prita Laura: Banyak masyarakat yang melihat, "Kita bicara Indonesia emas, generasi emas, membangun literasi digital, padahal literasi dasar kita masih bermasalah." Bagaimana menjelaskan dan menyiasati gap ini, namun tetap mengejar pembentukan manusia generasi emas? Mas Wamen: Kita sedang mengerjakan dua hal secara paralel: mengatasi rendahnya literasi dasar dan memperkuat literasi digital anak-anak kita. Jika hanya dikerjakan salah satu, akan menimbulkan ketertinggalan. Literasi dasar yang sudah kita kerjakan di pendidikan usia dini dan dasar adalah memperkuat kemampuan budaya membaca. Namun, kita menyadari anak-anak kita lebih familiar dengan dunia digital. Baca buku fisik mungkin terasa aneh, mereka lebih suka baca tablet atau e-book digital. Tetapi, akses mereka terhadap teknologi/gawai tidak otomatis menjamin mereka membaca e-book. Yang mereka saksikan bisa saja screen time di TikTok. Screen time orang Indonesia tertinggi di dunia: 7 jam 22 menit per hari. Saya melihat tidak ada korelasi langsung antara akses anak-anak kita terhadap gawai dengan kebiasaan mereka membaca. Justru screen time itulah yang membuat kita khawatir. Oleh karena itu, kami mengerjakan ini secara paralel. Digital adab menjadi sangat penting untuk menaikkan kemampuan literasi dasar sekaligus membekali mereka dengan kemampuan literasi digital. Prita Laura: Pak Asep, sebagai praktisi, apakah mungkin literasi digital dan literasi dasar dilakukan secara paralel bersamaan dalam sosok seorang murid? Pak Asep Wahyudin: Sangat mungkin. Kita melihat apa yang sudah dilakukan oleh OECD, yang mengeluarkan panduan Learning Compass 2030 untuk mencapai kesejahteraan global, mengidentifikasi skill apa yang harus dimiliki peserta didik. Kemudian, jika kompetensi, skill, dan kapabilitas sudah diidentifikasi, struktur kurikulum seperti apa yang bisa dibelajarkan, diubah, dan disesuaikan. OECD punya tiga pilar:

  1. Kognitif, turunannya literasi, numerasi, dan literasi digital. Literasi digital sangat mungkin direalisasikan dengan mata pelajaran seperti ini karena ini akan meningkatkan digital skill, digital ethic, digital culture, dan digital safety.

  2. Kesehatan sosial dan emosional. Banyak aplikasi berbantuan teknologi AI yang ada. Masyarakat kita, generasi emas kita, tidak boleh apatis, tapi bisa bersinergi dan tahu cara memanfaatkan AI untuk hal itu, serta tahu kelemahannya. Undang-undang data digital punya hal yang sangat sensitif, yaitu data privasi. Mereka harus dibelajarkan jangan sampai memberikan data sensitif orang tua atau data dirinya sendiri. Kesadaran ini rendah jika mereka tidak dibelajarkan secara formal. Harapannya, mereka akan belajar dari anak-anak sendiri yang sudah dibelajarkan bagaimana meningkatkan digital safety. Cita-cita ini luar biasa, perlu banyak dukungan, dan belum bisa dibuktikan karena pembelajaran informatika baru 2 tahun, dan coding serta AI akan dilanjutkan. Dua mata kuliah ini saling beriringan. Insyaallah, keinginan Mas Wamen agar generasi emas kita terlihat di 2045 mungkin dalam 10 tahun kita bisa melihat hasilnya (2035). Kita sudah sesuai dengan OECD Learning Compass 2030.


Etika AI, Perlindungan Data, dan Peran Guru

Prita Laura: Mas Wamen, bicara AI dan coding, kita tidak bisa dilepaskan dari etika kecerdasan artifisial, perlindungan data, dan bagaimana kesejahteraan anak bisa dipastikan Kemendikdasmen terintegrasi dalam mata pelajaran pilihan AI dan Coding ini. Mas Wamen: Yang sekarang sedang berkembang adalah bagaimana kita membangun budaya yang disebut responsible artificial intelligence (menggunakan AI secara bertanggung jawab). Ini yang akan menentukan apakah manusia bisa menjadi pengendali, user yang bijak, atau menjadi subordinasi dari teknologi. Kita ingin melahirkan anak-anak yang bijak dalam menggunakan teknologi, termasuk AI. Anak-anak kita di usia SD, SMP, SMA, sudah familiar dengan Gemini, Chat GPT, Grock, dan lain-lain. Tetapi, kita harus pahamkan bahwa ada batasan etika yang harus diketahui. Jangan sampai mereka menganggap informasi atau produksi pengetahuan dari AI benar 100%, padahal ada banyak bias, misinformasi, dan informasi yang belum tentu akurat. Di situlah peran kita untuk memverifikasi (falsifikasi) apa yang kita baca. Kemampuan itulah yang harus kita bekali. Menjauhi AI 100% bukan solusi, tetapi tergantung dengan AI 100% juga akan membutakan kita. AI sebagai tools (alat), tetapi bagaimana menggunakan alat yang baik? Anak-anak harus punya kemampuan kritis. Critical thinking berawal dari curiosity. Anak-anak harus diajarkan bagaimana selalu bertanya, "Apa betul Pak?" Ini yang disampaikan termasuk oleh gurunya. Jangankan oleh mesin cerdas, oleh gurunya pun anak-anak harus diajar bertanya. Sehingga curiosity ini menjadi sangat mendasar karena itulah yang mau kita bangun. Apapun teknologinya, anak-anak itu akan menjadi pengendali. Jangan sampai nanti istilahnya seorang tokoh namanya Yuval Noah Harari, dia bilang akan terjadi satu masa ketika muncul otoritarianisme teknologi, ketika teknologi menjadi lebih otoriter, kita menjadi budaknya karena tidak bisa mengendalikan teknologi. Pendidikan dalam konteks coding dan AI ingin memberikan kemampuan dasar dan kesadaran. Satu hal yang tidak bisa digantikan oleh AI adalah kesadaran membangun empati. Karena mesin itu pintar, tetapi dia tidak punya rasa, tidak punya empati. Anak-anak kita harus punya empati karena etika menyangkut soal empati. Misalnya, mereka melihat tontonan yang pantas atau tidak pantas. Jika bicara kesukaan pribadi, dia akan menonton atau menyebarkan. Tetapi, jika bicara apakah pantas ini saya bagikan, itu butuh rasa, butuh empati. Pendidikan dasarnya di sana, membangun kesadaran bahwa dia ini manusia yang berjiwa, bukan sebatas mesin yang cerdas semata.


Persiapan Guru dan Pengawasan Kurikulum

Prita Laura: Satu pertanyaan untuk para guru yang menyimak, bagaimana peran guru dan bagaimana guru dipersiapkan untuk mata pelajaran pilihan ini? Mas Wamen: Prosesnya sudah kita mulai dengan pelatihan upskilling. Tentu akan ada evaluasi setelah satu semester berjalan. Sebagai kebijakan baru, kita butuh adjustment dan penyesuaian. Kita berharap para guru yang akan mengampu mata pelajaran ini juga meningkatkan diri secara berkelanjutan (continuous professional development). Guru secara inheren harus meningkatkan kompetensi profesinya secara berkelanjutan. Jangan sampai guru ini tertinggal oleh perkembangan teknologi dan kalah sama kemampuan anak. Sangat mungkin anak kita lebih pintar bicara AI daripada gurunya. Jangan sampai guru merasa terkalahkan atau tersudutkan. Yang harus dibangun adalah budaya belajar bersama. Itu yang lebih sehat. Pak Asep Wahyudin: Yang disampaikan Pak Wamen sangat benar, dan awareness ke teman-teman guru sangat penting. Apa yang kita bicarakan dari sisi teknologi digital mungkin sekarang AI, nanti keluar dari sini jangan-jangan sudah jadi AKS. Perubahannya sangat cepat. Guru yang profesional, terutama guru-guru yang mengajarkan teknologi digital, lewat upskilling tadi, harus diterjemahkan menjadi kemampuan dan kewaspadaan untuk melihat tren IT. Saya sering menyampaikan kepada guru-guru, seberapa percaya diri Anda memberikan materi lalu siswa Anda belum tahu sama sekali? Justru mungkin ada yang sudah lebih tahu. Guru harus bijak sehingga pembelajaran berdasarkan aktivitas siswa, dengan project-based learning. Berikan permasalahan, bimbing mereka melakukan eksplorasi karena karakteristik digital native ada. Jangan heran jika mereka menyampaikan sesuatu yang baru bagi pendidik. Pendidik itu yang harus bijak, jangan merasa dibalik jadi Anda belajar lalu muridnya jadi yang menyampaikan. Bijak menyiapkan segala sesuatu dengan sangat baik. Guru itu lewat upskilling tadi sudah sangat sadar, terutama teman-teman berlatar belakang informatika, komputer, teknik komputer. Membelajarkan ini tidak lantas bisa serta-merta bisa. Mereka tetap harus menyelesaikan dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Memang dibutuhkan sebuah mentalitas untuk aktif belajar, tidak bisa pasif menunggu materi dari Dikdas.


Tanya Jawab dengan Narasumber

Prita Laura: Pertanyaan terakhir yang masuk ke Dikdasmen: bagaimana Kemendikdasmen akan memantau dampak jangka panjang dari kurikulum ini terhadap kesiapan kerja murid di masa depan? Mas Wamen: Tentu kita punya instrumen asesmen yang standar. Dalam konteks asesmen, termasuk dalam rapor pendidikan, kita bisa masukkan indikasi/indikator mengenai pembelajaran coding dan AI. Kita pasti akan memantau karena tidak ingin kebijakan yang sudah dijalankan tidak ada dampaknya terhadap tujuan besar pendidikan nasional. Paling tidak, mereka harus berkorelasi dalam mendukung tercapainya profil lulusan dimensi tadi. Ini akan kita terus uji dan evaluasi.


Sesi Tanya Jawab "Kamu Tanya Kemendikdasmen Menjawab"

Prita Laura: Kita masuk ke segmen "Kamu Tanya Kemendikdasmen Menjawab". Saya akan bacakan beberapa pertanyaan.

1. Apakah semua sekolah di daerah terpencil akan memiliki akses internet dan komputer yang memadai untuk pembelajaran coding dan kecerdasan artifisial? Mas Wamen: Pemerintah sedang menyiapkan distribusi smartboard yang akan menyasar tiga klaster daerah:

  1. Daerah yang sudah ada listrik dan internet.

  2. Daerah yang baru ada listrik tapi belum ada internet.

  3. Daerah yang tidak ada internet dan listrik. Pemerintah menyiapkan infrastrukturnya sehingga anak-anak di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) yang tidak ada koneksi internetnya masih bisa menikmati konten yang sama baiknya dengan konten yang dinikmati di Jakarta atau Bandung, karena kita akan menyiapkan infrastrukturnya secara baik. Itu perintah dari Bapak Presiden.

2. Bagaimana orang tua bisa membantu anak-anak mereka belajar coding dan kecerdasan artifisial di rumah, terutama jika mereka tidak memiliki latar belakang IT? Mas Wamen: Ini hal yang sangat mendasar. Orang tua harus bisa mengontrol penggunaan gawai/handphone di rumah. Tidak perlu masuk ke teknis soal AI dan codingnya, tapi bagaimana mengatur anak-anak kapan mereka boleh menggunakan handphone, kapan mengakses handphone, sehingga mereka bisa punya waktu cukup untuk belajar, berinteraksi dengan keluarga, dan bermain dengan teman-temannya di luar rumah. Jika orang tua tidak bisa mengendalikan akses anak terhadap handphone di rumah, yang terjadi adalah literasi dasar mereka masih belum siap, dan ketika datang literasi digital mereka tidak mengerti apa-apa, sehingga penggunaan gawai menjadi useless atau meaningless. Jadi fungsi orang tua adalah fungsi pengawasan dan pendampingan agar bisa menggunakan handphone secara tepat sasaran, tepat guna, dan tepat waktu. Itu lagi-lagi pendampingan, pengawasan, dan karakter.

3. Apakah ada kekhawatiran bahwa kecerdasan artifisial akan membuat anak-anak kurang kreatif atau malas berpikir? Bagaimana mencegahnya? Mas Wamen: Kekhawatiran itu beralasan. Ada riset dari Microsoft Institute dan Mellon Carnegie University yang melihat bahwa ada dampak ketika anak-anak (bahkan orang dewasa) terlalu percaya dengan aplikasi seperti Chat GPT. Itu akan menumpulkan kemandirian berpikir. Kekhawatiran itu beralasan. Oleh karena itu, kita harus mengenalkan kepada anak-anak kita kapan dan bagaimana menggunakan aplikasi AI itu yang paling penting. Ketergantungan yang terlalu tinggi pada AI membuat anak kita jujur saja akan kehilangan kemandirian berpikir dan kreativitas karena semua merasa sudah dijawab oleh aplikasi itu. Di sinilah peran orang tua dan guru untuk mengarahkan mana yang bisa, mana yang boleh. Ini memang satu hal yang harus kita bangun kesadaran ini kepada anak-anak kita ketika di rumah dan juga di sekolah.


Kata Penutup dan Harapan

Prita Laura: Kita dengar closing statement dari Pak Asep dulu, lalu ditutup oleh Mas Wamen. Pak Asep Wahyudin: Terima kasih. Kita harus paham bahwa teknologi ini tidak bisa dibendung, sehingga tidak 100% bijak menahan anak-anak kita tidak bersentuhan dan berinteraksi dengan teknologi ini. Kita ingin nanti generasi emas kita yang mendatang akan turut aktif menciptakan berbagai solusi berbasis digital. Ini bisa dimulai dengan pembelajaran coding AI. Hanya saja, yang perlu digarisbawahi bahwa coding, terutama di coding, tidak serta-merta dianggap sebagai pemrograman teks yang membingungkan, tapi lebih kepada bagaimana menstimulasi cara berpikir logis dan sistematis mereka. Elemen pembelajaran kita ada yang namanya berpikir komputasional, berpikir dengan menggunakan dasar ilmu komputer dan informatika, berpikir seperti solusi yang sering dikeluarkan oleh seorang software engineer. Itu yang nanti bisa diterapkan dan diharapkan ada di dalam keseharian dan karakter berpikir siswa-siswa kita. Tidak boleh lagi kita mendengar ke depan ada peserta didik generasi emas kita ada masalah lalu tidak bisa menyelesaikan, tapi struggle kritis, lalu kreatif menciptakan berbagai solusi. Itu yang penting. Semoga kita sama-sama bisa menciptakan talenta-talenta digital yang luar biasa yang tidak hanya mampu menggunakan dan memanfaatkan saja, tapi dia bisa menjadi warga negara yang wise (bijak) memanfaatkan teknologi digital, bijak berkehidupan di dunia maya dan dunia nyata. Banyak komunitas di luar dan di Indonesia yang menggulirkan coding dapat dipelajari di pendidikan dasar menengah, bahkan AI juga bisa. Dulu banyak orang menyangka tidak mungkin soal klasifikasi data, model data dibelajarkan, padahal itu pembelajaran yang paling esensial di AI. Ternyata banyak dibuktikan, misalkan lewat Google, lewat Code.org, AI for Ocean. Mereka tahu banget di belakang AI itu apa, apa itu klasifikasi data, apa itu model data. Jangan sampai kita jadi aktif menggunakan lalu lupa jadi information feeder setiap hari hanya memberikan data dan informasi ke AI terus, padahal kita bisa aktif sebagai pengembang nanti suatu saat. Mas Wamen: Tujuan besar dari kebijakan mata pelajaran coding dan AI, termasuk juga pendekatan mendalam deep learning, sebenarnya ingin melahirkan anak didik kita yang bijak dan cerdas menggunakan teknologi. Mereka harus menjadi minimal konsumen kritis ketika menggunakan aplikasi teknologi itu, dan ke depan mereka juga berharap menjadi produsen. Sementara ini kita memang levelnya menjadi konsumen teknologi AI. Produsen besarnya tentu Amerika yang sangat dominan, disusul oleh Cina. Tapi kita ingin menjadi konsumen yang kritis, jangan konsumen yang membabi buta. Ke depan harapannya anak-anak kita yang tumbuh dalam konteks digital ini bisa belajar menjadi produsen. Setiap pengetahuan informasi yang lahir dari proses aplikasi kecerdasan buatan tentu harus diimbangi oleh sifat kritis dan budaya kritis dari kita, sehingga kita bisa menggunakan informasi dan teknologi itu secara tepat, sehingga apapun yang dilahirkan oleh teknologi itu bisa menimbulkan kebaikan. Kita ingin teknologi ini menjadi alat kita untuk mencapai kebaikan, bukan justru menimbulkan kerusakan. Di situlah manusia menjadi otonom sebagai pengguna yang bijak dan cerdas. Itu yang ingin kita capai dengan kebijakan ini.


Penutup

Prita Laura: Sudah kita dengarkan closing statement-nya. Pada intinya, ketika belajar coding dan kecerdasan artifisial, bukan semata belajar teknik, tapi adalah bagaimana menstimulasi cara berpikir kritis dan juga logis yang kemudian dia bisa menjadi bekal dalam banyak hal. Dan yang paling penting, membentuk karakter bagaimana kita seperti yang Mas Wamen sampaikan, ketika menggunakan pisau, kita menggunakan pisau secara bijak dan cerdas, sehingga kemudian kecerdasan artifisial bisa menjadi sebuah alat yang dimanfaatkan untuk mencapai kebaikan. Demikianlah, Kemenikdasmen, siaran inspiratif, inovatif, akuntabel, dan responsif demi pendidikan bermutu untuk semua. Sampai jumpa.



Tentu, ini adalah rangkuman transkrip video dalam bentuk tabel, diurutkan berdasarkan linimasa video:


Linimasa Video

Topik Pembicaraan

Poin-Poin Penting

00:00:00 - 00:00:58

Pendekatan Mata Pelajaran Pilihan Coding dan AI

- Mulai kelas 5 SD, SMP, dan SMA sebagai mata pelajaran pilihan.
- Pendekatan bisa terpisah, ekstrakurikuler, atau tematik integratif, menyesuaikan kondisi sekolah.
- Pentingnya adab digital dan pemanfaatan AI untuk kebaikan.

00:01:17 - 00:03:07

Pengantar dan Relevansi Coding & AI dalam Pendidikan

- Pengenalan acara dan narasumber (Prita Laura, Bapak Fajar Risaul Ulhaq - Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Bapak Asep Wahyudi - Master Trainer Kecerdasan Artifisial).
- Penerapan coding dan AI di pendidikan dasar dan menengah relevan dengan Revolusi Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0.
- Pemerintah melalui Kemendik Dasmen menetapkan coding dan AI sebagai mata pelajaran pilihan mulai tahun ajaran 2025-2026 untuk membekali keterampilan digital dan berpikir komputasional.

00:03:07 - 00:06:17

Mengapa Coding dan AI Penting: Analogi Pisau

- Generasi sekarang adalah digital native.
- Pengenalan coding dan AI relevan dengan tuntutan dunia digital.
- AI sudah berkembang sejak 1950-an dan banyak digunakan di industri.
- AI diibaratkan pisau: bisa bermanfaat jika digunakan tepat, tapi bisa melukai jika digunakan salah.
- Pentingnya mengenalkan fungsi, penggunaan yang benar, dan hal yang tidak boleh dilakukan dengan AI.

00:06:17 - 00:09:51

Implementasi Pembelajaran dan Etika Digital

- Mata pelajaran pilihan mulai kelas 5 SD, SMP, dan SMA.
- Fleksibilitas metode (mata pelajaran terpisah, ekstrakurikuler, tematik integratif).
- Tujuan utama: anak-anak mengerti literasi digital, literasi AI, dan etika dalam menggunakan AI.
- Konsep Digital Citizenship (aman, etis, bertanggung jawab) menurut Mribel (2015).
- Bukan semata melatih programmer, tetapi membekali dengan kewargaan digital.

00:09:51 - 00:15:15

Pendidikan Bermutu untuk Semua dan Tantangan Kesenjangan Digital

- Kebijakan ini tidak akan memperlebar ketimpangan digital karena tujuannya mengangkat semua lapisan masyarakat.
- Status mata pelajaran masih pilihan, tergantung kesiapan infrastruktur dan SDM (guru ICT).
- Sudah ada inisiatif di sekolah swasta dan negeri sebelum kebijakan ini.
- Pentingnya mengenalkan teknologi digital sejak dini untuk menghindari fungsional illiteracy.
- Mengatasi masalah literasi dasar dan literasi digital secara bersamaan.

00:15:28 - 00:21:05

Urgensi Pembelajaran Coding & AI dan Peran Guru

- Teknologi tidak bisa dilepaskan dari kehidupan; AI sangat masif.
- Lebih baik diajarkan secara terstruktur melalui guru daripada belajar sendiri.
- Kekhawatiran AI menggantikan pekerjaan rutin, namun lebih penting peserta didik tahu cara menggunakan dan proses rekayasanya.
- Menghindari ketergantungan penuh pada AI untuk jawaban (misal: Chat GPT sebagai psikolog).
- Anak-anak perlu tahu ekosistem pemeriksaan data dan memahami proses pembuatan aplikasi.
- Tujuan: citizen wellbeing (bijaksana dan seimbang di dunia nyata/maya).
- Akan banyak talenta digital Indonesia yang mampu menghasilkan sistem berbasis digital.

00:21:05 - 00:27:07

Kesiapan Guru dan Visi Generasi Emas 2045

- Materi teknologi digital masih baru, sehingga diperlukan upskilling dan pelatihan guru.
- Pentingnya meningkatkan awareness masyarakat tentang pembelajaran coding dan AI.
- Pembelajaran coding dan AI di SD lebih fokus pada simulasi berpikir logis dan sistematis (berpikir komputasional dan literasi digital).
- Contoh permainan edukatif seperti menara Hanoi membangun logika berpikir.
- Visi Generasi Emas 2045: kompeten, daya saing tinggi, peka digital, karakter kuat (Profil Pelajar Pancasila), pembelajar cepat, stok SDM STEM yang kompetitif.

00:27:07 - 00:32:00

Penanganan Paralel Literasi Dasar dan Digital

- Dua hal dikerjakan paralel: mengatasi rendahnya literasi dasar dan memperkuat literasi digital.
- Anak-anak lebih familiar dengan dunia digital (e-book, gawai).
- Namun, akses gawai tidak menjamin minat baca, malah sering untuk screen time media sosial (Indonesia tertinggi: 7 jam 22 menit/hari).
- Digital wisdom penting untuk menaikkan literasi dasar dan digital.
- Pendekatan OECD Learning Compass 2030 yang mencakup pilar kognitif (literasi, numerasi, digital), kesehatan, dan sosial emosional.
- Generasi emas harus bisa bersinergi dan memanfaatkan AI, serta mengetahui kelemahannya.

00:32:00 - 00:37:12

Etika AI, Perlindungan Data, dan Kesejahteraan Anak

- Membangun budaya Responsible Artificial Intelligence (AI yang bertanggung jawab).
- Manusia harus menjadi pengendali yang bijak, bukan budak teknologi.
- Pentingnya memahami batasan etika AI; informasi dari AI tidak selalu 100% benar (ada bias, misinformasi).
- Peran manusia untuk memverifikasi informasi dari AI (critical thinking).
- Ketergantungan tinggi pada AI dapat menumpulkan kemandirian berpikir dan kreativitas.
- AI sebagai alat untuk mencapai kebaikan, bukan kerusakan.
- Kesadaran dan empati tidak bisa digantikan AI (penting dalam etika).

00:37:12 - 00:45:00

Peran Guru dan Tantangan Kesiapan

- Pelatihan (upskilling) guru informatika untuk mengampu mata pelajaran ini.
- Guru harus memiliki continuous professional development dan meningkatkan kompetensi berkelanjutan.
- Guru bisa belajar dari aplikasi AI.
- Realistis: kemampuan anak bisa melampaui guru secara teknis.
- Peran guru yang tak tergantikan: membangun karakter dan menanamkan nilai keadaban.
- Membangun budaya belajar bersama antara guru dan murid.

00:45:00 - 00:48:26

Sesi Tanya Jawab: Kekhawatiran dan Pemantauan Dampak

- Akses internet & komputer di daerah terpencil: Pemerintah siapkan smartboard untuk 3 kluster daerah (ada internet/listrik, listrik saja, tidak ada keduanya) dengan konten yang sama baiknya.
- Peran orang tua di rumah: Mengontrol penggunaan gawai anak (kapan boleh, kapan tidak) untuk keseimbangan belajar, interaksi keluarga, dan bermain di luar.
- Kekhawatiran AI membuat anak malas/kurang kreatif: Kekhawatiran beralasan, riset menunjukkan ketergantungan berlebihan menumpulkan kemandirian berpikir dan kreativitas. Pentingnya mengarahkan kapan dan bagaimana menggunakan AI.
- Kesiapan dan kualitas guru: Melalui pelatihan berkelanjutan (upskilling) dan evaluasi semesteran. Guru didorong untuk terus meningkatkan diri.
- Pemantauan dampak jangka panjang: Menggunakan instrumen asesmen dan indikator di rapor pendidikan untuk melihat korelasi dengan pencapaian profil lulusan.

00:48:26 - 00:54:33

Closing Statement

- Teknologi tak bisa dibendung, jadi tak bijak menahan anak dari interaksi dengan teknologi.
- Generasi mendatang harus aktif menciptakan solusi berbasis digital.
- Pembelajaran coding dan AI menstimulasi berpikir logis dan sistematis (berpikir komputasional).
- Guru dan orang tua berperan penting dalam membimbing dan mendampingi.
- Tujuan besar: melahirkan anak didik yang bijak dan cerdas menggunakan teknologi; menjadi konsumen kritis dan di masa depan menjadi produsen.
- Teknologi sebagai alat untuk mencapai kebaikan, bukan kerusakan. Manusia harus menjadi pengguna yang otonom, bijak, dan cerdas.





Post a Comment (0)
Previous Post Next Post